Kamis, 13 September 2012

"TAK KAN MELAYU HILANG DI BUMI?"

        Melayu menurut Daniel Perret - akademisi Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales Perancis -    Melayu bukan label etnis, tapi label budaya. Siapapun bisa menjadi Melayu jika beragama Islam, beradat-istiadat Melayu, berbahasa Melayu, dan mengaku Melayu. Sebagai label, kata Melayu - muncul pada abad ke -16 sebagai identifikasi diri dan pembeda dari suku-suku lain yang non-Muslim. Melayu di Sumatera Timur, karena telah beragama Islam, menyebut dirinya orang beradab, dan lainnya uncivilized , kanibal, dan kasar.  Melayu menjadi label budaya yang tidak memiliki batas wilayah.

       Melayu adalah rumpun dengan berbagai etnis di dalamnya, Minang, Palembang, Aceh, dan berbagai subetnis di sekujur Sumatera, banjar, Bugis, Makassar, hingga Betawi. Ada pula yang mengatakan, Melayu adalah 'rumah besar' dengan penghuninya berbagai etnis yang memiliki ornamen budaya, adat istiadat,serta agama yang sama, yaitu Islam. 

        Namun 'rumah besar' itu ambruk ketika Belanda dan Inggris menandatangai Traktat London 1824. Inggris berhak atas tanah-tanah Melayu di sekujur Semenanjung Malaya, Tumasik (kini bernama Singapura), dan sebagian Kalimantan. Belanda, setelah Traktat London, merasa berhak menjarah seluruh tanah Melayu di sekujur Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. 

        Inggris dan Belanda menerapkan pendekatan berbeda.Di Semenanjung Malaya, Inggris - meski masih memberi kekuasaan kepada para sultan - tidak menjalankan politik pemecahan rumpun Melayu.

       Belanda menjalankan pendekatan berbeda, dengan mengadu sultan satu dengan yang lain untuk mendapatkan pengaruh dan menguasai tanah-tanah Melayu. Akibatnya terjadi perpecahan anggota serumpun. Setiap etnis cenderung bangga dengan keetnisannya dan tidak lagi merasa sebagai bagian rumupun Melayau. Pada saat yang sama, Belanda menggebah Melayu dari kota-kota nenek moyang mereka ke pinggir kota dan memperkenalkan mereka dengan budaya agraris. Belanda pula yang menggebah Melayu dari kota-kota pelabuhan, mengerdilkan peran ekonomi dan kebaharian mereka. Pada saat yang sama, Belanda melemahkan jiwa entrepreneur Melayu dengan mendorong mereka untuk menjadi orang upahan dan karyawan. Upaya ini dibarengi dengan mengkooptasi kekuasaan para sultan. sehingga 3 dimensi kekuasaan yang dimiliki rumpun Melayu tergerus. Dan dari segi dimensi kebudayaan, budaya Melayu kehilangan ruh dan karakternya ketika bersentuhan dengan pengaruh luar.

Tidak ada komentar: